Selasa, 11 Maret 2008

Teater Gandrik Suguhkan RUU Pornoaksi Salah Kaprah



Foto : Pamungkas'RadarJogja for EndroGuntoro



‘Sidang Susila’ Repotoar Teater Gandrik
Suguhan Gamblang, Salah Kaprahya Pasal Pornoaksi !!!

Kejahatan pikiran itulah kejahatan paling kejam… Kebenaran sangat bisa dimonopoli. Semua pikiran bisa diseragamkan dengan aturan-aturan ayat dan pasal susila. Bebaskan... Bebaskan… Susila!!!
Penggalan dialog teater ‘Sidang Susila’ Teater Gandrik di Gedung Societed Taman Budaya Jogja, dua malam Jumat (7/3) dan Sabtu (8/3) berdurasi 1,5 jam merupakan suguhan persoalan pornoaksi yang ‘dipaksakan’ dalam pasal melalui media panggung., diamana RUU Pornografi-pornoaksi tersebut masih terus mengundang pro kontra sjeumlah kalangan
Naskah Sidang Susila yang ditulis Ayu Utami dan Agus Noor menjadi ruang membuka kembali persoalan pornoaksi dan pornografi. Dikisahkan, Susila seorang berbadan gemuk sebagai pedagang mainan anak dituduh sebagai seorang yang pantas dijebloskan penjara penguasa. Susila yang diperankan Susilo Nugraha atau Den Baguse Ngarso dituduh berbuat porno dimuka umum hanya karena saat itu kedapatan tidak berbaju sehingga kedua susu (payudara) terlihat. Ia dituduh pelaku pornoaksi dan harus segera dieksekusi tepat saat ikut meronggeng (tayuban).
Susila makin tidak berdaya setelah seperangkat barang dagangan mainan anak seperti balon dan berbagai aneka jenis mainan dinilai membahayakan moral berpikir jarena dipandang bisa memunculkan berpikir mesum khususnya anak-anak menjadi barang bukti pornoaksi. Selama menjalani proses penyidikan, Susila mendapat bantuan hokum dari pengacara bernama Utami SH yang diperankan Aktor Butet Kertarejasa. Dalam adegan persidangan didepan hakim yang diperankan Heru Kesawa Murti, meski pembelaan Utami terdakwa selalu kandas dihadapan hakim dan jaksa yang diperankan Whani Darmawan. Namun justru dengan terus terpojoknya terdakwa dimuka hukum mengubah persepsi masyarakat kepada Susila yang dinilai sebagai pahlawan.
Gelombang masa terus mendesak pihak penegak hokum agar Susila segera dibebaskan karena tidak terbukti atas tuduhan berbuat porno. Masyarakat dalam pementasan itu, menilai Undang-undang Susila yang diberlakukan penguasa dan aparat penegah hukum justru menyembunyikan perilaku dan pikiran amoral dan asusila dengan kepura-puraan bersikap adil dan berada.
Terkait dengan isu pornoaksi sendiri bagi penulis naskah, menganggap RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi sebagai kelucuan. Dalam penelaahan RUU yang tengah di serakan DPR kepada pemerintah ini disebutkan gambar orang telanjang baik perempaun maupun laki-laki diperbolehkan disebarluaskan dan dipertontonkan dengan tujuan tertentu seperti pengobatan impotensi, kebutuhan pentas seni budaya maupun ritual tradisional. “RUU Pornoaksi dan pornografi itu mmebuat kami terhina. Bayangkan dengan RUU itu perlakukan kesenian, kebudayaan, dan adapt istiadat seajjaran dengan pengobatan disfungsi ereksi,” kata Ayu Utami.
Lebih jauh Ayu Utami menganggap RUU tersebut menjadi aneh, khususnya dalam Pasal 8 dan pasal 13. Disebutkan Utami, pasal 8 menyebutkan larangan penggunakan anak sebagai obyek atau model pornografi. “Pasal ini bertentnagn dengan pasal 13 yang menyebut pengecualian untuk tujuan pengobatan, seni dan budaya serta adat istiadat. Parahnya lagi RUU itu dirumuskan orang yang tidak mengerti kesenian. Dan dipandang seni budaya terpisah dengan masyarakat,” jelas Utami didampingi Agus Noor.
Meskipun repotoar Teater Gandrik disajikan dengan khas sampakan, celometan, dan celelekan namun tidak nampak kehilangan konsistensi daam membawakan alur cerita yang segar, kritis penuh sentuhan humor. Dengan garapan artistic Ong Hary Wahyu, dengan peñata musik Djaduk Ferianto, peñata lighting Clink Sigiarto dan prancing property Jujuk Prabowo membuat pementasan terasa lebih hidup.
Reportoar Teater Gandrik kali ini yang sebelumnya telah digelar di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta 22-23 Pebruari kemarin seakan menjadi suatu romantisme actor-aktor ternama Gandrik yang beberapa waktu lalu nyaris tak terdengar gaugnya. Ini terlihat dari pemain yang melibatkan teaterwan kawakan seperti Agos kencrot, Jujuk Prabowo, Sepnu Heriyanto atau Kuriman, Heru Kesawa Murti Pak Bina, Djaduk Feriyanto, Whani Darmawan, Susilo Nugraha Denbaguse Ngarso dan Rullyani Isfihana. Uniknya, dalam reportoar ini Teater Gandrik tampil tidak mengusung siapa sutradara pementasan yang berperan penuh dalam tafsir cerita, pemeranan, bloking pemain, maupun merancang tangga dramatic.
“Reportase Teater Gandrik kali ini bias dibilang kerja dengan keroyokan. Sutradara tidak ada namun yang ada motovator yang bertugas sebagai pengatur lalu lintas gagasan kratif yang bersliweran,” kata Butet Kertarejasa ketika ditemui METEOR usai pentas di malam pertama. Lebih jauh Butet mengatakan pementasan Sidang Susila ini memberikan peluang berkreatif bagi teater Gandrik untuk mengembangkan gagasan artistic sekaligus energi muda teater Gandrik yang terlibat menjadi kelahiran baru teater Gandrik. (gun)

Tidak ada komentar: