Jumat, 04 April 2008

Tuntut Terdakwa Dibebaskan

Dua tersangka di kursi pesakitan (foto: EndroGuntoro)

Warga Ngleri Grudug Pengadilan
GUNUNGKIDUL – Sekitar 80an masa dari warga Kelurahan Ngleri Kecamatan Playen Gunungkidul pagi keamarin grudug Pengadilan Negeri Wonosari. Kedatangan warga ini tak lain untuk memberikan dukungan moral terhadap dua terdakwa Martoyo dan Yatijan yang hendak menjalani sidang tahap lanjutan atas dugaan penyunatan dana rekonstruksi korban gempa. Warga mendesak majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala tuduhan.
Puluhan warga Ngleri mendatangi Pengadilan dengan menggunakan armada truck dan beberapa mobil sebelum agenda sidang dimulai. Tanpa menggelar orasi terlebih dahulu maupun memampang tulisan warga yang kebanyakan ibu-ibu ini lagsung menuju ruang sidang utama dengan pengemanan ketat petugas Polsek Wonosari dan Polres Gunungkidul yang bersiaga.
Awalnya sidang dengan dua terdakwa kemarin dipimpin ketua majelis hakim Tri Rahmat SH, Sri Rahayunigsih SH dan Erni SH menghadirkan saksi korban yang diajukan jaksa penuntut umum Suharto SH berlangsug kondisif. Namun beberapa kali peserta sidang berbuat gaduh hingga hakim berilang kali menginstruksikan agar peserta diam dan tenang.
Menurut saksi yag dihadirkan, mengakui bantuan dana rekonstruksi korban gempa dari pemerintah pusat yang diterima untuk kategori rusak sedang senilai Rp 4juta hanya diterima Rp 2,6 juta. “Benar bapak hakim bantuan senilai Rp 4juta tidak kami terima bulat,” kata satu saksi bernama Hardi Wiratmo. Jumlah potongan untuk kearifan lokal, menurut Hadi Wiratmo, juga dialami 17 warga lain di desa Ngleri. Kontan pengakuan saksi ini langsung disamber peserta sidang. “Hhuuuuuuu….,” sahut peserta sidang.
Melihat kegaduhan tersebut, lagi-lagi hakim terpaksa harus mengayunkan palu siang agar sidang tetap berjalan tenang. “Kami ingatkan peserta sidang, sidang ini memang terbuka untuk umum namun tidak dibenarkan mengomentari jalannya sidang apalagi mengganggu jalannya sidang. Mohon jangan erisik,” kata Hakim Ketua dengan memukul palu.
Secara tuntut saksi membenarkan pemotongan dana rekonstruksi kepada tujuh belas penerima dana rekons dirasakan ada tekanan dari terdakwa. “Saat memutuskan untuk memotong dana rekons, terdakwa sempat menyebut bahwa kebijakan tersebut diambil agar tidak ada keributan yang ditimbulkan dan demi titik aman,” jelas saksi. Mendengar penyataan tersebut, Hakim langsung mempertegas, maksud titik aman yang dimaksud.
Kepada Hakim, saksi mempertegas bahwa terdakwa pernah menyatakan tidak akan bertanggungjawab apabila kebijakan potongan dana rekons ditolak 17 warga penerima dana rekons. Demikian halnya diakui Poniman, warag Ngleri yang turut menjadi saksi dalam persidangan. Alam kesemaptan ditemui koran ini dirinya membenarkan dana rekons senilai Rp 4 juta yang diterima dipotong Rp 1,4 juta dengan alasan kearifan lokal bagi warga lain yang amanya dinyatakan tidak mendapatkan dana rekons.
Data yag diperoleh METEOR, dugaan penyunatan dana rekonstruksi dialami 17 warga desa Ngleri Playen rata-rata senilai Rp 1,390juta sampai Rp 1,4 juta. Dari hasil pemotongan guna kearifan lokal ini terkumpul sekitar Rp 23 juta yang selanjutnya diratakan untuk 79 warga Ngleri Playen yang lolos dari bantuan rekonstruksi.
Sidang berjalan hingga siang hari setelah sebelumnya sempat dipending untuk istirahat siang. Sidang terdakwa yang dihadiri puluhan warga Ngleri tiu bukanlah pertama kali, agenda sidang pekan sebelumnya bahkan masa warga Ngleri lebih banyak dari warga yang hadir kemarin. Selama sidang, dua tokoh masyarakat yang diduga sebagai pihak inisiator pemotongan dana rekons mendapat bantuan pembelaan hukum Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Jogja.
“Kami dan warga sengaja datang kesini untuk memberi dukungan terhadap dua terdakwa warga kami yang dituduh melakukan penyunatan dana rekonstruksi. Kami minta agar hakim membebaskan kedua terdakwa karena tidak ada unsur pemaksaan dan semua demi kearifan lokal,” kata Rudianto salah satu warga gleri kepada METEOR.
Menurut Rudianto, istilah penyunatan atau pemotongan tidak pas digunakan dalam perkara ini. “Pemotongan dan penyunatan itu tidak pernah ada. Kebijakan kearifan lokal senilai Rp 1,39 juta ini sudah sesuai dengan kesepakatan dan mekanisme musyawarah yang bulat. Bahkan sejumlah warga yang juga memberikan kearifan lokal kepada warag lainnya bisa anda tanyai,” jelas Rudi. (gun).

Tidak ada komentar: