Minggu, 06 April 2008

Masjid Al-Muftahulhuda Dari Keringat dan Airmata Umat

Tidak banyak orang mengenal masjid Al-Miftahulhuda. Selain lokasinya berada ditengah perkampungan dan sawah, masjid kecil ini hanya biasa gunakan ibadah sekitar 80an KK umat Karangmojo Rw.04 Purwomartani Kalasan Kabupaten Sleman Jogjakarta.

Minggu (6/4) pagi kemarin adalah hari bersejarah kebahagiaan umat muslim Karangmojo Purwomartani dalam pemasangan mutoko masjid. Ditandai butiran air mata ratusan umat menetes, Masjid Al-Miftahulhuda kembali dimiliki warga setelah gemba bumi berkekuatan 5,9 pernah mengguncang Jogja dan sekitarnya, 27 Mei 2006 lalu.

Tercatat, selama 50 hari perjalanan panjang nan berat umat islam Karangmojo ini pun terjawab. Keinginan umat untuk memiliki masjid Al-Miftahulhuda pun terkabul. Maha dahsyat.. tempat suci tempat meninggikan kebesaran nama Allah itu kembali kokoh, murni dari kucuran dan air mata umat secara swadaya.

Adalah Anas Sudiyono salah satu pemuka masyarakat setempat, saat ditemui METEOR mengaku terheran dengan hasil keringat warganya. Anas dengan gigih terus memberi keyakinan dan support warga bahwa masjid harus kembali kokoh berdiri dengan kekuatan swadaya. “Awalnya kami pesimis bisa mendirikan masjid lagi. Namun setelah ada semengat bersama alhamdulilah niat tulus warga terkumul uang Rp 30an juta dan pembangunan langsung dimulai,” kata Anas.

Jelas, uang Rp 30 juta tidak bakalan cukup. Untuk menekan cos pengeluaran, proses rehab masjid menurut Pak RW 04 inisiatif dengan melibatkan 80 KKnya secara bergiliran dikerahkan untuk tenaga pembangunan masjid. Rata-rata, sehari ada 13 KK yang bekerja bergiliran dengan KK lainnya. Khusus di hari Minggu semua KK wajib terlibat. Sementara ibu-ibu tidak tinggal diam. Alakadarnya menyiapkan ubarampe untuk mesupport tenaga suami-suaminya.

“Kami bersyukur dalam waktu 50 hari masjid ini sudah 75 persen terlihat sudah bisa digunakan,” imbuh pegawai Pusri yang tercatat menjadi pemrakarsa rehap swadaya Masjid Al-Miftahuluda. Menurut Anas, bahan material untuk merehap masjid ini tidak sepenuhnya belanja dari hasil iuran yang terkumpul itu. Apa yan dimilik warag itulah yang dikerahkan.. “Punya bambu yang dibawa, punya kayu ya dibawa, punya semen atau pasir kita terima. Bahkan hanya punya tenaga saja sangat dinilai berharga. Dan ini hasil dari keringat dan air mata warga itu,” tambah Anas.

Meski rehap Masjid Al-Muftahulhuda kini baru berjalan sekitar 75 persen, namun dengan bangunan suci ini sudah layak digunakan untuk berbagai kegiatan religius seperti TPA tiga kali seminggu, pengajian malam selasa, dan ibadah rutin Sholad Jumat. Kini pekerjaan masih 25 persen lagi. Insyaalaah semangat warga membangun kembali masjid tidak akan putus ditengah jalan. Meskipun segala keterbatasan sempat mewarnai semangat 80KK untuk memiliki tempat ibadah. Untuk mencapai 100 persen, warga terus giat baik dalam penggalian dana yang kini mulai menyusut serta menyiapkan tenaga ekstranya untuk kembali ditetaskan untuk merampungkan bagian serambi masjid yang dibangun dari tanah yang diwakafkan Arjo Wagiman ini. Meski awalnya hanya bermodal semangat swadaya namun warga Karangmojo Purwomartani mengajak anda untuk turut memiliki. (gun).


Masjid Kokoh Ditengah Kampung Preman
Bukan berarti Masjid Al-Miftahul Huda yang hanya memiliki luas bangunan 7X7 meter diatas lahan 200meter tidak memiliki kisah penting. Masjid yang didirikan lebih dari 15 tahun silam dari tanah wakaf Arjo Wagiman memiliki kisah yang tidak ternilai.

Noto Raharjo, sesepuh kampung Karangmojo sekaligus pemrakarsa awal berdirinya masjid Al-Migtahul Huda kemarin menorehkan kisah kebahagiaannya kepada METEOR kemarin. Memasuki tahun 1980an tidak ada orang yang tidak mengenal kampung Karangmojo kelurahan Purwomartani, kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Jogjakarta.

Kampung yang baru dikenal Noto setelah menempat di Karangojo adalah kampung pencuri. Hampir seluruh warga Karangmojo Purwomartani ini memiliki perbuatan usil clemer. “Waktu itu kampung ini benar-benar kampung yang dikenal kampung paling tidak aman. Banyak warga disini yang suka cecolong (nyuri),” kenang Noto.

Sebagai warga pendatang baru, saat itu Noto cukup prihatin dengan keadaan yang terjadi. Kampung yang sering rebut, kampung pusatnya kisruh, kampung penuh papudhon (bertengkar) dan kampung yang jauh dari ibadah dan doa. Noto tak kehabisan cara untuk mesiasati keamanan kampung yang meprihatinkan ini. Bahkan sering tengah malam Noto Raharjo harus kelilng kampung seorang diri agar memergoki siapa saja warag yang demen nyolong. Dari sini Noto berharap pelaku gangguan kamtibmas diyakini bakal risih dan pekewuh. “Saya pengin ketemu saat ada warga nyolong agar punya pekewuh dengan saya,”tutur Noto.

Namun strategi Noto ini tidak kunjung membuahkan keberhasilan. Meski berulang kali sempat memergoki beberapa warganya tengah mencuri, rasa pekewuh yang diharapkan muncul dari pelaku tetap tak kunjung dijumpai. Justru kondisi tidak aman ini makin parah. Hingga Noto memberanikan diri menggandeng segelintir warganya mendirkan masjid yang akhirnya dinamakan Al-Miftahul Huda ditengah kampung preman.

Adzan subuh, kumadang adzan dhulur dan maghrib terus digemakan hingga memecah telinga warga satu ke warga lain yang hampir memiliki kegemaran klepto. Meski memerlukan waktu lama namun panggilan suci ini ternyata mujarab. “Satu demi satu warga akhirnya bisa berubah dan singgah ke masjid setiap saya berkumandang adzan di masjid yang sangat sederhana ini,” kata Noto kepada METEOR.

Awalnya, memang warga terlihat asing untuk singah di masjid ini. Namun setelah satu dua kali Noto sengaja mengajak sekaligus melibatkan warganya hingga akhirnya panggilan hati muncul. Saat itulah perlahan umat islam di Karangmojo Purwomartiani makin bertambah dna berkembang. Disinial rahasia kebesaran dan kuasa Allah kepada umatnya pernah ditunjukkan. (gun)


Tidak ada komentar: