Selasa, 08 April 2008

Inspektorat Daerah Pasrah Polisi

Kabag Pemdes Siap Dipanggil

GUNUNGKIDUL – Desas-desus sejumlah pejabat pemkab menerima aliran dana dari hasil markup penggelembungan harg pengadaan tanah kas desa kepek Saptosari diam-diam direkam Inspektorat Daerah Gunungkidul (dulu Bawasda-red). Namun Inspektorat Daerah tidak bisa melangkah lebih jauh karena memang dugaan korupsi tersebut sudah dalam penanganan penyidik kepolisian.
“Karena itu sudah ditangani pihak kepolisian menjadi proses hukum ya kita serahkan sepenuhnya kepada petugas polisi hasil dan kebenarannya nanti seperti apa kita tunggu,” kata Drs Sutomo Inspektor Daerah Gunungkidul ditemui METEOR, siang kemarin..
Menurut Sutomo, dugaan markup di desa kepek kecamatan Saptosari itu diketahui justru dari koran METEOR. “Secara detailnya justru saya baca dari METEOR disana ada beberapa nama pejabat pemkab disebut-sebut dicokot tersangka,” kata Isrektor yang abru enam bulan menjabat.
Lebih jelas, Sutomo menyatakan sepenuhnya dugaan korupsi yang menyeret dua perangkat desa sebagai tersangka sepenuhnya diserahkan polisi yang memang menjadi kewenangan penyelidikan dan penyelidikan hukum.
Terpisah, Sardjono Ssos selaku Kabag Pemdes Pemkab Gunungkidul yang namanya turut disebut-sebut tersangka menerima aliran uang hasil markup sebagiamana disebut tersangka Ngjiman secara tegas menolak kebenaran tuduhan tersebut. Sejak awal tukar guling tanah kas desa, pembebasan hingg pengadaan tanah pengganti Sardjono mengaku tidak turut campur. Pihkanya telah menyerahkan tugas kepada tiga stafnya yakni Zakaria, Nanik Aswiyah dan Suwardi.
“Kabat itu tidak benar. Saya tidak pernah terima setoran dari siapapun. Bahkan sejak rencana awalnya saya tidak menangani langsung,” kata Sardjono kepada METEOR. Bahkan pengakuan Ngajiman dan Mulyakno dalam penyidikan didepan petugas yang membenarkan uang senilai Rp 7,5 juta sudah dikembalikan dari Sardjono juga ditampik. “Apalagi mengembalikan. Menerima pun saya tidak pernah,”imbuh Sardjono.
Kepada koran ini, Sardjono dan Zakaria menyatakan siap mengahdap penyidik jika sewaktu-waktu dipangil untuk dimintai keterangan sebputar kabar tersebut. “Saya siap memberikan keterangan jika nanti dipanggil. Namun sampai hari ini belum ada panggilan untuk saya,” imbuh Sardjono.
Meskipun sepenuhnya tidak aktif mengurusi proses tukar guling hingga pengadaan, lebih jauh Sardjono menjelaskan kemulut kas desa kepek itu bermula dari tukar menukar tanah perseorangan ke desa pada sekitar tahun 2000-2001 karena lahan kas desa digunakan untuk pembanguna kantor Saptosari.
Ijin Gubernur sebagaimana mekaisme yang ada harus diperpanjang karena sampai ijin tersebut habis rencana tidak ditindaklanjuti. Hingag akhirnya ijin di'hidupkan' lagi dan tahun 2007 pengadana tanah pengganti kas desa selesai melalui tim baik dari unsur pemkab maupun desa. Sardjono justru mengaku tidak tahu menahu bahwa proses itu menjadi kemulut sampai harus urusan dengan pihak polisi. “intinya saya tegaskan saya tidak pernah menerima uang mapun mengembalikan uang. Itu berita tidak benar,” imbuh Sardjono.
Sekedar diketahui, nama beberapa pejabat pemkab termasuk Sardjono Ssos sempat dicokot dua tersangka yakni Ngajiman selaku kaur Pemerintahan Desa dan dibenarkan Mulyakno yang juga menjabat selaku Lurah. Pengakuan tersebut dikatana du atersangka dalam penyidikan secara terpisah petugas Unit Tipikor Satuan Reskrim Polres Gunungkidul.
Sebagaimana kasus itu terendus Unit Tipikor Polres Gunungkidul setelah polisi menindaklanjuti aduan warga terkait jumlah nilai rupiah yang ditemukan tidak sama dengan pembayaran dalam berita acara. Ada lima dari tujuh warga yang menerima uang hasil penjualan tanahnya tidak sesuai dengan ada yang di tandatangi. Dua tersangka hingga kinimasih terus dilakukan penyidikan dan berstatus tersangka.
Dalam keterangan yang diberikan petugas, lima dari tujuh, yakni Siswo Sentono menerima Rp 33,5 juta dan menandatangi Rp.57,5 juta. Sutardi menerima Rp 30 juta namun menandatangi Rp. 57,7 juta, Kismorejo nominal yang diterima Rp 27,5 juta dan menandatangi Rp 30juta. Hal yang sama juga alami dua warga lain, Mardi Jemiko menandatangi Rp 30 juta dan hanya menerima Rp 29 juta. Sementara Wonokaryo yang diwakili Mardi Utomo dipaksa menandatangani berita acara pembayaran tanah Rp 38juta dan hanya menerima Rp 12juta.(gun).

Tidak ada komentar: